MENGENASKAN, KEMATIAN NURUDDIN, KHALIFAH PERTAMA AJARAN AHMADIYAH [1]
PENDAHULUAN
Mirza Ghulâm Ahmad al-Qâdiyani telah membuka pintu fitnah besar, yaitu pengakuan diri sebagai nabi yang melanjutkan dakwah Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dukungan kuat dari kolonialisme dalam bentuk material dan immaterial membuat banyak orang ingin mendekati Si Nabi Palsu ini. Demi mendapatkan limpahan kekayaan duniawi yang telah dinikmati oleh Mirza Ghulâm Ahmad dari penjajah Inggris.
ORANG-ORANG DEKAT SI NABI PALSU
Sebenarnya ajaran-ajaran Ahmadiyah merupakan gagasan pemikiran yang digulirkan oleh beberapa individu yang menjadi tangan kanannya. Mereka rela menjual aqidah dan hati nurani mereka dengan kekayaan duniawi dari kolonialisme dengan mendukung gerakan Ahmadiyah. Mirza Ghulâm Ahmad sangat membutuhkan keberadaan dan kontribusi mereka, karena ia bukanlah orang yang cerdas . Ia tidak pernah mempelajari agama Islam dengan baik, terutama bahasa Arab. Syaikh Ihsân Ilâhi Zhahîr t menyimpulkan, “Bila kita katakan bahwa melalui tangan merekalah Ahamadiyah terbentuk, maka itu lebih benar dan relevan. Sebab mereka itulah yang mendukung kenabian Ghulâm Ahmad. Dan posisi Ghulâm Ahmad hanyalah selaku corong bagi apa yang mereka sampaikan”.[2]
Orang-orang yang dimaksud adalah Nûruddin, Muhammad Ali, Mahmud Ahmad, putra si Nabi Palsu, Khaujah Kamaluddin, Muhammad Ihsân Mruhi, Yar Muhammad dan ‘Abdullah Timuburi serta Muhammad Shâdiq. Dari deretan delapan nama ini, orang pertama, Nûruddin adalah tokoh yang paling penting dan berjasa besar bagi ajaran Ahmadiyah. Orang inilah yang sedang kita bicarakan.
NURUDDIN SEBELUM BERJUMPA DENGAN SI NABI PALSU
Pada awalnya, ia hanyalah seorang atheis yang bergabung dengan kaum atheisme India. Pada dirinya, tertanam sifat ambisius yang besar terhadap kekuasaan dan jabatan. Ia juga suka menonjolkan diri. Manakala mulai mengenal Mirza Ghulâm Ahmad si Nabi Palsu, Nûruddin dapat merasakan kecocokan dengannya. Karena ambisi besarnya dapat tersalurkan melalui tangan Ghulam Ahmad. Putra Ghulâm Ahmad menceritakan dalam Sîratul Mahdi (1/141), “Sesungguhnya yang mulia Syaikh Nûruddin sebelumnya terpengaruh dengan atheisme. Namun, setelah bergabung dengan Yang Mulia Ghulâm Ahmad, pemikiran itu berangsur-angsur hilang”.
KEDUDUKAN NURUDDIN
Posisi Nûruddîn sangat penting bagi Ghulam si Nabi Palsu. Tidak ada orang yang menyamai kedudukannya selain Muhammad ‘Ali.
Orang ini memang dikenal pandai. Ia telah mendalami bahasa Arab dan pernah tinggal di Hijaz (Mekah) dalam jangka waktu lama. Penghormatan Mirza Ghulâm Ahmad kepadanya sangat besar sekali. Ini dapat diperhatikan melalui surat-surat yang dikirim si Nabi Palsu kepadanya. Gelar-gelar dan sanjungan tinggi menjadi cirri penyebutan Nûruddin di surat-surat Mirza Ghulâm Ahmad. Sementara si Nabi Palsu menamakan dirinya sebagai khadimnya (pelayannya). Sebagai contoh, Mirza Ghulâm Ahmad menulis kepadanya sebuah surat yang diawali dengan pernyataan:
مولاي المكرم أخي الشيخ الحكيم نور الدين سلمه الله تعالى
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
.........................................
الخادم
غلام أحمد
(Kepada junjunganku yang terhormat, saudaraku, Syaikh yang bijak, Nuruddin. Semoga Allah memberinya keselamatan. Assalamu alaikum warahmatullah wabarakatuh………..al-Khadim Ghulam Ahmad (Maktûb Ghulâm Ila Nûruddîn, dalam himpunan kitab Majmûah Makâtiib al-Ghulâm [5/14, no. 2]
Inilah kebiasaan Mirza Ghulâm Ahmad kepada Nûruddîn, bakal calon khalifahnya. Apakah masuk akal, seorang nabi menyebut-nyebut muridnya (sahabatnya) dengan bahasa dan gelar tinggi semacam ini? [3]
Salah satu tugas penting yang diemban Nûruddîn adalah melakukan tash-hih (mengoreksi) terhadap tulisan-tulisan karya Ghulâm bersama tokoh-tokoh pertama Ahmadiyah lainnya. Putra kedua si Nabi Palsu pernah secara tidak langsung menceritakan bukti lain tentang kepalsuan kenabian bapaknya. Ia berkata, “Sesungguhnya Mirza Ghulâm Ahmad mengirimkan tulisan-tulisan tangan kepada Nuruddin untuk keperluan koreksi… [Koran al-Fadhl, milik Ahmadiyah, 5 Februari 1929 M]
.
Dalam kesempatan lain, dalam kitabnya, Sîratul Mahdi (1/75), Mahmud Ahmad mengatakan pernyataan senada dengan di atas, “Sesungguhnya yang mulia (ayahnya) mengirimkan tulisan-tulisan tangan bakal kitab-kitabnya yang berbahasa Arab kepada Nuruddin dan Ustadz Muhammad Ihsân Amruhi supaya mereka berdua melakukan perbaikan dan mengoreksinya…”. Syaikh Ihsân Ilâhi Zhahîr berkomentar: “Seorang nabi memerlukan koreksian pada tulisannya?!” [4]
MENGKLAIM DIRI SEBAGAI KHALIFAH PENGGANTI MIRZA GHULAM AHMAD
Pasca kematian si Nabi Palsu, tibalah kesempatan untuk memenuhi ambisi besar yang terpendam. Nûruddîn memproklamirkan diri sebagai khalifah pertama. Ia berkata: “Saya bersumpah dengan nama Allah, bahwa Dia telah menjadikan diriku sebagai khalifahnya. Siapakah yang mampu merebut selendang khalifah dariku?.....Dia berkehendak menjadikan diriku imam dan khalifah kalian. Katakanlah apapun yang kalian inginkan. Setiap tuduhan dan celaan kalian kepadaku, tidaklah kembali kecuali kepada Allah. Karena Dia telah mengangkatnya sebagai khalifah.. [Termaktub dalam sebuah majalah Ahmadiyah 14/234].
Pihak kolonialisme pun setuju dengan dirinya. Sebab, mereka telah menguji dan membuktikan kesetiaan dan kesetiaan Nûruddîn selama ini untuk menjadi pelayan mereka. Meski, dengan mempertaruhkan agama, dan harus berkhianat kepada kaum Muslimin.
Setelah tampuk kekuasaan berada di tangannya, ia pun pernah mengaku kalau posisinya bak posisi Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu yang meneruskan tongkat estafet dakwah dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ?!.[5]
AKHIR HAYAT YANG MENGENASKAN
Sepak terjangnya yang buruk menuai balasan dari Allah Azza wa Jalla. Allah menetapkan Nûruddîn mengalami sakit yang berkepanjangan. Sampai kehilangan kemampuan berbicara dan kesadarannya. Akhirnya, ia meninggal dalam kondisi mengenaskan. Sementara anaknya yang masih remaja harus mati oleh racun yang dibubuhkan oleh orang Ahmadiyah. Istrinya lari dengan lelaki lain pasca kematian sang suami.
Tidak hanya ini saja, putri Nûruddîn yang menikah dengan Mahmûd Ahmad, putra si Nabi Palsu. Dan suaminyalah yang ternyata membunuh dua anak Nûruddîn itu. Sementara putranya yang lain, diusir dan dituduh berbuat nifak (ala Ahmadiyah, red)
PENUTUP
Demikianlah, nasib Nûruddîn, pembesar Ahmadiyah dan keluarganya. Tragis memang, seperti kondisi Mirza Ghulâm Ahmad yang mati di toilet akibat penyakit kolera yang dideritanya. Namun itu belum ada apa-apanya dengan siksa Allah Azza wa Jalla di akhirat kelak atas kelakuan buruknya dalam mendukung Nabi Palsu Mirza Ghulâm Ahmad. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan.
Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa menaungi kita dengan ilmu dan hidayah-Nya. Wallahu a’lam
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/1430H/2009M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]
_______
Footnote
[1]. Diangkat dari al-Qâdiyâniyah, Dirâsât Wa Tahlîl karya Syaikh Ihsân Ilâhi Zhâhir (wafat 1941-1987), Idârah Turjumânis Sunnah Lahore Pakistan tanpa tahun, hal 179-185
[2]. Hal. 179
[3]. Hal. 182
[4]. Hal. 180
[5]. Syaikh Ihsân Ilâhi Zhâhir t berkomentar, “Bagaimana bisa manusia kotor ini mensejajarkan dirinya dengan Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu, insan yang suci?! Hal. 184
Sumber : http://almanhaj.or.id
0 komentar:
Posting Komentar