PENYEMBAH KUBUR (1)

Oleh Ustadz Arif Syarifuddin Abu Humaid, Lc (Pimpinan Islamic Centre Bin Baz – Yogyakarta)             
Allah subhanahu wa ta’ala telah menciptakan alam semesta beserta isinya, khusnya jin dan manusia, agar mereka beribadah kepada-Nya dengan mengesakan-Nya serta tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Q.S. adz-Dzariyat: 56)           
Dalam semua bentuk ibadah, yang hakikatnya adalah segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah subhanahu wa ta’ala, baik berupa perkataan hati, lisan maupun perbuatan hati dan anggota badan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi. Seperti mahabbah (kecintaan) dan ta’zhim (pengagungan) kepada Allah, berdo’a, ber-isti’anah dan ber-istighatsah, shalat, shaum, menyembelih kurban, dan bentuk-bentuk ibadah yang lain, semuanya hanya ditujukan kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata. Untuk tujuan itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengutus para rasul-Nya dengan membawa kitab dan risalah dari-Nya kepada umat masing-masing, terkecuali nabi dan rasul-Nya, Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam, yang Dia subhanahu wa ta’ala utus kepada semua manusia, untuk memberikan pengajaran dan penjelasan tentang begaimana cara mereka beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala tersebut sekaligus bagaimana mereka harus mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah mereka kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman yang artinya:”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul kepada tiap-tiap umat (untuk menyeru umatnya), ’Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thagut itu.’ ” (Q.S. an-Nahl: 36) 
Sejarah Terjadinya Penyembahan Kubur           
Manusia pada awal mulanya, semenjak Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan Adam ’alaihissalam, mereka dalam keadaan bertauhid, beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.”Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi keputusan di antara menusia tentang perkara yang mereka perselisihkan.” (QS. al-Baqarah: 213)”Manusia dahulunya hanyalah satu umat, kemudian mereka berselisih.” (QS. Yunus: 19)           
Jadi, dahulunya manusia itu di atas millah (ajaran) yang satu yaitu mentauhidkan/ mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah mereka dan tidak menyekutukan-Nya. Mereka beribadah dengan tata cara yang satu dengan petunjuk dan bimbingan para nabi-nabi Allah, tidak dengan tata cara bid’ah yang mereka ada-adakan sendiri. Saat itu belum ada orang yang melakukan kesyirikan, belum ada yang menyembah kubur, patung, dan berhala, dan belum ada yang melakukan dalam agama Allah. Saat itu belum ada patung yang disujudi, belum ada berhala yang disembah, belum ada kubur yang dijadikan tempat beri’tikaf/ beribadah di dekatnya, belum ada pohon yang dijadikan sebagai tempat mengambil berkah, belum ada batu (yang dikeramatkan) yang dijadikan tempat menyembelih, belum ada malaikat yang dijadikan sandaran dalam bernadzar, belum ada nabi yang dijadikan tempat beristighatsah, dan belum ada orang shalih yang dimintai pertolongan selain Allah.           
Sampai pada suatu generasi sebelum diutusnya Nabi Nuh ’alaihissalaam, adalah Iblis –la’natullah ’alaih – tidak senang melhat pemandangan yang menyakitkannya tatkala mereka taat kepada Allah, berpegang dengan syari’at-Nya, dan beibadah hanya kepada –Nya. Dia mencari-cari kesempatan untuk memalingkan mereka dari hal itu dengan memalingkan mereka dari hal itu dengan cara-cara yang halus lagi dihias-hiasi, meski awal mulanya dia tidak berhasil. Hingga keika wafat sebagian orang-orang shalih dari kalangan mereka (Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr) yang memiliki kedudukan di mata mereka – karena telah berjasa megajarkan kepada mereka ilmu dan kebaikan – mereka amat bersedih berpisah dengan orang-orang shalih tersebut. Maka Iblis –la’natullah ’alaih – datang kembali untuk membuat makar dan pengelabuan terhadap mereka sampai akhirnya mereka melakukan i’tikaf (beribadah) di dekat kuburan orang-orang shalih tersebut dan membuat patung-patung mereka yang ditancapkan di majelis-majelis di mana mereka dahulu mengajarkan ilmu dan kebaikan. Demikianlah keadaan tersebut sampai datang generasi berikutnya, di saat ilmu telah ditinggalkan dan kejahilan telah merajalela, hingga akhirnya patung-patung tersebut disembah.[1]           
Itulah makna dari penafsiran Ibnu ’Abbas radliallahu ’anhuma tentang ayat yang artinya,”Dan mereka berkata, ’Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Ilah-Ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula suwaa’, Yaghuts, Ya’uq dan Nasr’.” (QS. Nuh: 23)           
Begitulah cara-cara syaithan dalam menggiring manusia, sehingga muncullah di antara anak keturunan Adam ’alaihissalaam satu firqah (kelompok) penyembah kuburan, yang melakukan kesyitirikan terhadap Allah, beribadah kepada orang-orang shalih atau pere wali dengan berbagai macam bentuk ibadah.           
Ibnul Qayyin rahimahullah menyebutkan bahwa fitnah penyembahan kubur merupakan salah satu tipu daya syaithan yang paling besar. Beliau menegaskan bahwa awal pertama kali fitnah ini muncul pada kaum Nabi Nuh ’alaihissalaam sebagaimana yang Allah kabarkan dalam al-Qur’an yang artinya,           
”Nuh berkata, ’Ya rabbku, sesengguhnya mereka telah mendurhakaiku, dan .telah mengikuti orang-orang yang harta dan anak-anaknya tidak menambah kepadanya melainkan kerugian belaka, dan melakukan tipu-daya yang amat besar. Dan mereka berkata, ’Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Taghuts, Ta’uq, dan Nasr.’ Sesedahnya mereka telah meyesatkan kebanyakan (manusia); dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kesesatan’.” (QS. Nuh: 21-24)[2]             
Lalu beliau – Ibnul Qayyim rahimahullah – menukil perkataan Salaf tentang ayat ini yang menyebutkan bahwa mereka –Wad, Suwa’, Yaghuts, Ya’uq, dan Nasr –adalah orang –orang shalih di antara kaum Nuh ’alaihissalaam. Kemudian tatkala mereka wafat, orang-orang beri’tikaf di kubur-kubur mereka, lelu membuat patung-patung mereka. Hingga lama masanya atas mereka, kemudian manusia menyembah mereka (orang-orang shalih tersebut).[3]           
 Maka mereka telah menggabungkan antara dua fitnah, fitnah kubur dan fitnah patung. Kedua fitnah inilah yang pernah disinyalir oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam dalam hadits muttafaq ’alaih dari ’Aisyah radliallahu ’anha tentang gereja yang dilihatnya di negeri Habasyah, yang disebut Maria. Dan bahwa dalam gereja tersebut terdapat gambar-gambar dan patung-patung. Maka Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam berkata, ”Mereka adalah kaum yang apabila mati seorang –hamba- yang shalih di antara mereka, mereka membangun masjid (tempat ibadah mereka) di atas kuburnya, lalu mereka buat gambar-gambar/ patung-patung di dalamnya. Mereka itulah sejelek-jelek makhluk di sisi Allah.”[4]           
Maka Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menggabungkan antara patung-patung dan kuburan. Dan ini pulalah sebab dari penyembahan terhadap ’Laat’.           
Ibnu Jarir meriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan dari Manshur dari Mujahid –tentang ayat yang artinya-,”Maka apakah patut (pantas) kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al-Uzza.” (QS. An-Najm: 19)           
Beliau –Mujahid- berkata, ”Laat –dahulunya- adalah seorang yang membuat adonan tepung –gandum- untuk mereka –yang berhaji-. Kemudian dia mati, mereka beri’tikaf di kuburannya.”[5]           
Jadi, jelaslah bahwa sebab penyembahan kepada Wad, yaghuts, Ya’uq, Nasr, dan Laat adalah pengagungan terhadap kubur mereka, kemudian dibuatlah patung-patung mereka hingga disembah.[6] 
Penyembahan Kubur dari Masa ke Masa           
Apa yang disebutkan di atas –yang dilakukan oleh kaum Nuh ’alaihissalaam – merupakan asal-usul terjadinya penyembahan terhadap kubur yang merupakan sumber permulaan kesyirikan yang terjadi di dunia.           
Meskipun kemudian Allah subhanahu wa ta’ala telah membinasakan mereka, karena menentang ajakan rasul-Nya Nuh ’alaihissalaam agar mereka kembali kepada tauhid, beribadah hanya kepada Allah. Namun, penyembahan terhadap orang-orang shalih terus menyebar, sampai kepada umat-umat setelahnya seperti kaum ’Ad –kaum Nabi Hud ’alaihissalaam-, Tsamud –kaum Nabi Shalih ’alaihissalaam-, Madyan –kaum Nabi Syu’aib ’alaihissalaam-, dan yang lainnya.           
Bahkan dengan jelas bahwa keyakinan Quburiyyah (penyembahan kubur) telah masuk dalam filsafat yunani, seperti yang dikibarkan Aristoteles dan murid-muridnya, di samping mereka juga adalah para penyembah patung.           
Racun Quburiyyah terus menyebar sampai kepada kaum Yahudi dan Nasrani, di mana mereka termasuk orang-orang yang menyembah kubur para nabi dan orang-orang shalih. Dan terus berkembang dengan berbagai bentuknya, sampai bermunculan beragam peribadatan kepada berhala, patung, bebatuan dan pepohonan yang memiliki hubungan dengan kuburan dan para penghuninya –yang diyakini sebagai orang-orang shalih-.            Hingga sampailah keyakinan Quburiyyah ini kepada kaum musyrikin Arab. Pada asalnya dahulu mereka berada di atas millah (ajaran) Nabi Ibrahim ’alaihissalaam yaitu ajaran tauhid. Akan tetapi syaitan elah menggelincirkan mereka dan menghias-hiasi mereka agar beribadah kepada kubur dan para penghuninya, sehingga mesuklah bermacam-macam penyembahan kepada berhala-berhala melalui jalur peribadatan kepada kubur sebagai pembukanya.[7] ((Disalin dari Majalah Fatawa vol. 09/ Th. I/ 1424 H – 2003 M)) 


[1] Lihat Juhud ‘Ulama al-Hanafiyyah fi Ibthali Aqaid al-Quburiyyah (I/17-18) dan (I/401-405), karya DR. Syamsuddin as-Salafi al-Afghani –rahimahullah- [2] Ighatsah al-Lahfan (I/286)
[3] Idem (I/287). Dan lihat pula Kitab at-Tauhid dan syarahnya, Fath al-Madjid, (I/281) tahqiq Abu Muhammad Asyraf Abdul Maqshud.
[4] H.R. Bukhari (no. 424, 3660), dan Muslim (no. 528). Dan ini adalah lafal Bukhari.
[5] Lihat Tafsir Ath-Thabari tentang tersebut, surat an-Najm ayat ayat 53
[6] Lihat Ighatsah al-Lahfan (I/287-288)
[7] Lihat Juhudul Ulama al-Hanafiyyah (I/18-19) dan (I/407-417)
http://salafiyunpad.wordpress.com

posted under |

0 komentar:

Posting Komentar

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

Alfurqoncell's Blog Headline Animator

Hosting Gratis

Hosting Gratis

Daftar isi Blog




Widget By: [blog-triks]

ShareThis

Blog Top Sites

Mesin Pencari Islami

Islamic Widget

Lijit Search Wijit

Planet Blog

PlanetBlog - Komunitas Blog Indonesia

Islamic Calendar

PageRank

Site Rank
My site's rank is:
Rank
What's your
Site Rank?

Geo Visite


free counter

Download Kajian

Kajian.Net

Harga Blog Ini

Cari Blog Ini

Twitter

Chat Dengan Ana

Status YM

Recent Comments